Rabu, 13 Januari 2010

Kiamat Memang Sudah Dekat

Kiamat bagi sebagian orang adalah peristiwa magis cenderung komikal, melibatkan naga berkepala tujuh atau jembatan dari rambut dibelah tujuh. Peristiwa ini merupakan intervensi pihak eksternal, yakni Tuhan, yang akan datang menghakimi manusia di hari yang tak terduga.
Lalu, jika tiba peristiwa alam yang meluluhlantakkan sebagian besar Bumi sebelah utara, melenyapkan sebagian besar Eropa, menihilkan kehidupan di Rusia, menyusutkan populasi AS hingga separuh, merusak berat Australia, Jepang, dan menenggelamkan pesisir pantai dunia hingga enam meter, menciutkan populasi Bumi sekurangnya duapuluh persen, lalu membiarkan sisanya dicengkeram iklim ekstrem dan kekacauan global, akankah ini cukup untuk sebuah definisi hari kiamat?
Saya terusik ketika membaca buku Graham Hancock "Fingerprints of the Gods". Dengan bukti-bukti yang ia kompilasi dari peradaban kuno Aztec, Maya, Hopi, dan Mesir, Hancock menemukan jejak peradaban yang kecanggihannya melebihi peradaban modern hari ini, tapi hilang sekitar 10,000 tahun SM oleh sebuah bencana katastrofik yang mengempaskan ras manusia kembali ke Zaman Batu. Bukti geologis pun mendukung bahwa Bumi telah beberapa kali mengalami climate shift.

***

Suku Maya dikenal sangat obsesif terhadap hari kiamat. Mereka percaya lima siklus kehidupan (atau 'matahari') telah terjadi. Dan sistem canggih kalendar mereka (Hancock meyakininya sebagai warisan dan bukan temuan) menghasilkan perhitungan bahwa matahari ke-5 (Tonatiuh), yakni zaman kita sekarang, berlangsung 5125 tahun dan berakhir pada tanggal 23 Desember 2012 AD. Sementara itu, peradaban Mesir Kuno menghitung siklus axial Bumi terhadap kedua belas rasi bintang. Siklus yang totalnya 25,920 tahun ini bergeser teratur, masing-masing 2160 tahun untuk tiap rasi. Posisi kita sekarang, rasi Pisces, telah menuju penghabisan, bertransisi ke Aquarius dengan pergolakan dahsyat.
Dengan pendekatan yang lebih esoterik, Gregg Braden dalam bukunya "Awakening to Zero Point" meninjau fenomena polar shifting, yakni bertukarnya Kutub Utara dan Kutub Selatan yang ditandai oleh melemahnya intensitas medan magnet Bumi — tercatat sudah turun sebanyak tigapulu delapan persen dibandingkan 2000 tahun lalu dan dipercaya akan sampai ke titik nol sekitar tahun 2030 AD. Fenomena alam ini sudah 14 kali terjadi dalam kurun waktu 4,5 juta tahun.
Di luar dari kontroversi saintifik soal teori Hancock dan Braden, sukar untuk disangkal bahwa Bumi kita memang tak lagi sama. Tahun 1998 tercatat sebagai salah satu puncak perilaku alam yang luar biasa. El Nino, disusul oleh La Nina, lalu Tibet dan Afrika Selatan masing-masing mengalami musim dingin dan banjir terburuk dalam limapuluh tahun terakhir. Memasuki tahun 2005, tsunami memporak-porandakan Asia, lalu Katrina menghantam Amerika Serikat. Entah apa lagi yang akan kita hadapi.
Namun pemahaman kita merangkak lamban seperti siput dibandingkan alam yang bagai kuda mengamuk. Isu pemanasan global membutuhkan satu dekade lebih untuk diakui para skeptis dan birokrat. Di Indonesia, sumber energi alternatif baru ramai dibahas setelah harga BBM melonjak, setelah bangsa ini terlanjur ketergantungan minyak. Isu pengolahan sampah dapur hanya sampai taraf bisik-bisik, itu pun setelah gunung sampah longsor dan memakan korban.
Selain upaya kalangan industri yang dirugikan oleh turunnya konsumsi energi fosil, lambannya respons kita juga disebabkan perkembangan sains ke pecahan-pecahan spesialiasi hingga fenomena yang tersebar acak jarang diintegrasikan menjadi satu gambaran utuh, dan tanpa sebuah model analisa yang sanggup menunjuk satu tanggal pasti, bencana katastrofik ini hanya menjadi wacana spekulatif. Sekarang ini bisa dibilang kita dibanjiri data dan gejala tanpa sebuah kerangka diagnosa.
Pengetahuan kita tentang akhir dunia pun stagnan dalam kerangka mitos biblikal yang sulit dikorelasikan dengan efek panjang kebakaran hutan atau eksploitasi alam, hingga lazimlah jika orang beribadah jungkir-balik demi mengantasipasi hari penghakiman tetapi terus membuang sampahnya sembarangan. Untuk itu dibutuhkan pemahaman akan bahaya dari pemanasan global, dan tindakan nyata untuk meresponsnya dengan urgensi skala hari kiamat.
Ada tidaknya hubungan knalpot mobil kita dengan cairnya es di kutub, bukankah kualitas udara yang baik berefek positif bagi semua? Lupakan plang 'Sayangilah Lingkungan'. Kita telah sampai pada era tindakan nyata. Banyak hal kecil yang bisa kita lakukan dari rumah tanpa perlu menunggu siapa-siapa. Perubahan gaya hidup adalah tabungan waktu kita, demi peradaban, demi yang kita cinta.
Angkot kita satu dan sama: Bumi. Tarif yang kita bayar juga sama, mau kiamat jauh atau dekat. Tidak ada angkot lain yang menampung kita jika yang satu ini mogok. Penumpang yang baik akan memelihara dan membantu kendaraan satu-satunya ini. Sekuat tenaga. ©

sumber :http://www.cafenovel.com/antologicerpen_dewilestari_009.php?page=009

30 Years, It's Just Too Early

"Diperkirakan 30 tahun dari sekarang, bumi dikhawatirkan akan mengalami kehancuran."
Begitulah kutipan kalimat dalam sebuah artikel suratkabar yang dibaca Kania. Ditutupnya koran yang ia pegang kemudian ia mengkalkulasikan umurnya saat ini dengan perkiraan waktu bumi akan hancur.
"Berarti waktu aku umur 47 tahun dong! Haaaaaaaaahhh?!" jerit Kania histeris, membuat Bunda yang melintas di depannya terkejut melihat putrinya menjerit heboh.
"Ada apa, Ka?" tanya Bunda bingung.
Kania teringat langkah pencegahan global warming dari artikel yang baru dibacanya. "Mulai besok aku mau ke sekolah naik sepeda aja, Bun," kata Kania.
"Kan sepedanya dibawa Mas Bima ke Bandung," timpal Bunda.
"Bukan sepeda motor, Bun. Tapi sepeda pancal yang udah lama nggak pernah dipake itu," terang Kania.
"Hah?" Bunda terkejut dengan penjelasan Kania yang terdengar agak nyeleneh itu. "Sekolahmu kan lumayan jauh, Ka. Apa nanti kamu nggak terlambat datangnya?" tanya Bunda, masih tidak mengerti maksud di balik rencana putrinya itu.
"Aku kan bisa berangkat lebih pagi, sekalian olahraga, Bun. Lagipula, aku pernah baca di koran, Pemkot aja udah mencanangkan Bike to Work. Kenapa aku nggak Bike to School? Demi kelangsungan bumi kita tercinta, Bunda." Kania mengakhiri perkataannya sambil tersenyum, Bunda pun dibuat amazed akan jawaban Kania. Beliau kagum putrinya concern juga masalah kondisi bumi yang semakin gawat ini.

***

Esoknya di sekolah.
Kania sudah menjadi pusat perhatian sejak ia mulai mengayuh sepedanya melewati pintu gerbang sekolahnya, bahkan satpam penjaga gerbang saja sampai tercengang.
"Kania?" sebuah suara menyapa Kania yang sedang mengunci sepeda pancalnya di tempat parkir motor.
"Hai, Lintang," sapa Kania, degup jantungnya mendadak semakin cepat. Diam-diam ia naksir sang Ketua Kelas di hadapannya ini.
"Kamu naik sepeda ke sekolah?" tanya Lintang sambil melirik sepeda yang masih tampak mulus di samping Kania.
Kania mengangguk. "Aku nggak mau mati muda soalnya," jawab Kania sambil berlalu, meninggalkan Lintang yang masih belum menangkap maksud jawaban Kania.
Lintang pun mengejar Kania yang melenggang masuk ke dalam sekolah. "Maksud kamu? Kamu nggak sedang mengidap penyakit parah, kan?" tanya Lintang setengah khawatir.
"Nggak kok, Lintang. Ini cuma supaya bumi kita nggak cepat hancur, aku baca di koran prediksinya 30 tahun dari sekarang. Masih banyak yang mau aku lakukan, masih pengen keliling dunia. Duh, pokoknya mati umur 47 masih terlalu muda!" Kania berseru histeris.
Lintang pun dibuat terdiam akan jawaban Kania yang polos itu. Selama ini ia tidak pernah notice hal-hal tentang global warming meski media juga tengah gencar menyiarkan. Tapi, penjelesan sederhana dari cewek yang selama ini ia kagumi ini ternyata mampu menyadarkannya tentang seberapa gawat keadaan bumi sekarang.
30 tahun? Gue juga masih pengen hidup di umur 47, batin Lintang.
"Ka, kamu kan Ketua Osis. Kenapa nggak bikin program aja buat menyelamatkan bumi? Kalau nggak salah kan Pemkot bikin Bike to Work, kita bikin aja Bike to School." Lintang mengusulkan.
Gosh, Lintang. Kenapa kita bisa berpikiran sama sih? batin Kania.
"Boleh. I've been thinking about that actually. Makasih ya usulnya," kata Kania sambil tersenyum manis. Membuat jantung Lintang berdebar kencang saat melihatnya.
"Ka, aku denger kamu naik sepeda ke sekolah," todong Bonie, salah satu sahabat Kania.
Bel istirahat berdering, para siswa SMA Perwira Nasional berhamburan menuju kantin sekolah yang mungil tapi punya tempat makan favorit siswa yang nyaman karena outdoor di area taman. Tidak terkecuali Kania dan ketiga sahabatnya.
"Iya, emang kenapa?" tanya Kania sambil menyeruput es jeruk nipis kesukaannya kala matahari sedang terik-teriknya seperti sekarang.
"Apa kata anak-anak entar, Ka. Masa Ketua Osis naik sepeda? Emang bokap udah nggak mau nganter lagi?" tanya Prita yang selalu mementingkan image di depan orang lain.
"Kalo gue sih cuek aja, Ka. Bodo amat apa kata orang! Di Jakarta, orang yang nekat kayak elo jarang banget. Terusin aja, Ka. Besok gue juga naik sepeda deh ke sekolah." Berbeda dengan pendapat kedua temannya yang lain, Hera yang asli Jakarta malah mendukung Kania.
Kania pun menceritakan tentang artikel yang dibacanya kemarin. "Kalian nggak harus ngikutin caraku kok, kalian boleh ke sekolah naik apa aja sesuka kalian. Tapi usahain jangan bikin polusi semakin meningkat," lanjut Kania.
"Oh gitu ya, Ka. Kemarin aku juga baca artikel kayak gitu juga sih. Ngeri emang ngebayangin kalo bumi kita hancur dalam waktu dekat," sahut Bonie.
"Berarti kita mati muda dong?! NO...!" seru Prita heboh. "Aku kan masih pengen jadi bintang film di Hollywood. Kalo 30 tahun lagi bumi udah hancur, aku nggak bisa ke Hollywood dong!"
"Ya udah, besok lu berangkat ke sekolah naik bemo aja, Prit," kata Hera asal, membuahkan tawa yang mendengarnya. Naik angkutan umum adalah hal yang paling nggak mungkin Prita lakukan. Pikiran-pikiran parno mengenai bemo pun langsung menyergapnya. Prita pun memandang Kania, minta pertolongan.
"Kalo nggak mau naik bemo ya naik sepeda aja, Prit," usul Kania yang malah membuahkan tawa yang semakin keras dari teman-temannya. Membayangkan Prita mengayuh sepeda bakal sama seperti membayangkan betapa lucunya seorang putri manja yang naik sepeda pancal ke sekolah.
"Atau kamu bisa bareng sama aku ke sekolah, Prit. Emang sih mobilku nggak senyaman Mercedez-mu. Apalagi aku barengan sama dua adikku yang masih SD, tapi masih ada tempat kosong kalau kamu mau nebeng. Gimana?" Bonie memberi usul yang kali ini masih agak masuk akal.
"Iya, Prit. Rumah kalian kan sekomplek, barengan aja kan lebih efisien," timpal Kania.
Prita pun mengiyakan. "Ini semua demi mimpiku ke Hollywood," kata Prita menerawang. Kania, Bonie dan Hera pun tertawa terbahak melihat tingkah temannya ini.

***

Esok paginya di sekolah.
Ketika sedang antri untuk memarkirkan sepedanya, Kania dibarengi seorang cowok yang juga naik sepeda pancal ke sekolah. Saat menoleh ke samping, ternyata cowok itu adalah Lintang.
"Lintang? Kamu...." tanya Kania takjub, tak menyangka Lintang yang tampak berwibawa ini akan mengikuti jejaknya.
"Aku juga nggak mau mati muda. Still have lots of things to do," jawab Lintang sembari tersenyum.
Kania dan Lintang pun memarkirkan sepedanya bersebelahan, hal itu tanpa mereka sadari menarik perhatian Hera yang tengah melintas usai memarkirkan sepedanya tepat di depan mereka.
"Duh, romatis bener! Sepedanya sampe diparkir sebelahan gitu," goda Hera sambil melenggang pergi.
Kania pun jadi blushing mendengarnya, ia lihat Lintang juga tampak bingung menyembunyikan wajahnya yang merona.
30 years is just too early for God's sake! ©

sumber :http://www.cafenovel.com/antologicerpen_saranindya_001.php?page=001

Love for Mother Earth

Sudah seminggu ini SMA Perwira Nasional mengadakan aksi hijau di lingkungan sekolah. Banyak juga yang mendukung, namun yang tampak cuek dan ogah-ogahan juga tidak kalah jumlahnya.
"Kurang kerjaan." Iitulah pendapat yang keluar dari mulut Wira, ia termasuk ke kelompok yang terkesan tidak peduli dengan aksi go green di sekolahnya.
Ketika jam istirahat dimulai, Litha memilih berkeliling mengingatkan teman-temannya untuk membuang bungkus makanan mereka ke tempat sampah yang sudah disediakan. Ia bahkan menjelaskan untuk membuang sampah ke tong sesuai jenis sampahnya.
Wira sedang asyik mengunyah kripik kentangnya ketika melihat Litha sibuk wira-wiri mengingatkan orang-orang.
"Kenapa sih dia? Sok peduli banget!" cibir Wira di hadapan teman-teman segengnya.
"Tau tuh! Katanya, dia yang ngusulin aksi hijau di sekolah kita," sahut Nando, teman Wira yang juga apatis akan aksi cinta bumi di SMA Perwira Nasional ini.
"Oh ya?" tanya Wira sambil memandang sosok di seberangnya dengan sinis.
"Gue denger dia jomblo lho, Wir. Aneh ya? Padahal Litha cantik banget, kan?" sahut Nando, yang kedengaran nggak nyambung.
"Maksud lo apa nih, Nan?" tanya Wira kesal. Ia merasa tersindir, karena sudah hampir lulus SMA masih belum juga mendapatkan seseorang yang spesial di hatinya. Seseorang yang nggak cuma cantik fisiknya tapi juga cantik hatinya. Padahal dia sudah dikenal sebagai cowok yang paling banyak fansnya, sayangnya dari fans yang berjibun itu dia belum juga menemukan yang dicarinya. Cewek-cewek yang mengejarnya kebanyakan hanya tertarik dengan harta dan tampilan fisiknya saja. Ia ingin seseorang yang tidak melihat itu semua dari dirinya, ia ingin seseorang yang bisa membuatnya lebih baik.
Wira nggak pernah mengutarakan kriteria cewek idamannya ini ke siapapun, termasuk Nando sahabatnya sejak kelas satu. Somehow, ia merasa sulit mendapatkan cewek dengan kriteria itu dengan reputasinya sekarang—tukang bikin onar, sering skip pelajaran, hobi nongkrong di kantin, dan selalu skeptis terhadap semua kegiatan sekolah. Sehingga ia memutuskan untuk menyimpan impiannya itu rapat-rapat, entah kapan harus dibuka. Mungkin bila sudah menemukan yang tepat.
Tanpa terasa bel masuk berbunyi. Wira dan teman-temannya memutuskan untuk kembali ke kelas.
"Yuk ah, balik. Pelajarannya Pak Rahmat nih. Gue nggak mau kena skorsing lagi," ajak Wira pada Nando sambil meninggalkan bungkusan bekas kripik kentang dan kaleng Cola-nya di atas meja kantin.
Ketika berbalik, ada yang menepuk bahunya dari belakang. Refleks ia berbalik kembali dan menemukan sosok yang membuat mood-nya nggak enak akhir-akhir ini.
"Kalo udah selesai makan dan minum, bungkus plastik sama kalengnya tolong dibuang ke tong sampah ya," ujar Litha ramah sembari menyodorkan bungkus kripik kentang dan kaleng Cola yang tadi ditinggalkan begitu saja oleh Wira.
Merasa disulut amarahnya, Wira mengambil bungkus plastik dan kaleng di tangan Litha dengan kasar lalu membuangnya ke tong sampah di dekat kantin.
"Puas?" kata Wira jutek sambil menatap Litha penuh amarah. Berikutnya ia pergi menyusul teman-teman segengnya yang sudah lebih dulu masuk ke kelas.
Litha memiringkan kepalanya tidak mengerti. She's wondering, apa yang sudah diperbuatnya sampai membuat Wira sedemikian marah kepadanya. Seingatnya, Wira memang terkenal sebagai tukang pembuat onar meski anehnya teman-teman ceweknya banyak yang ngefans gara-gara tampang Wira yang good looking. Namun, dia dan Wira tidak pernah bermasalah sebelumnya.
Sang mentari perlahan beranjak ke sisi lain bumi, membuat pemandangan menjadi bersemu jingga dan meninggalkan kesan hangat. Usai main squash bersama ayahnya, Wira yang sedang menikmati segarnya jus jeruk dingin dari kulkas menyambar majalah Bunda yang tergeletak di ruang tengah, majalah yang memuat tentang pola hidup sehat, penyakit populer, info-info kesehatan sampai kondisi bumi saat ini. Entah kenapa Wira tertarik untuk membaca sebuah artikel mengenai Global Warming. Judul artikel itu "Bumi sedang Koma", Wira penasaran mengenai isinya. Menurutnya, mana ada benda mati yang bisa mengalami koma. Jadi ia memutuskan untuk mencari tahu sendiri apa yang dimaksud penulis dengan mencantumkan judul yang tidak rasional menurutnya itu.

***

Sementara itu, sore-sore begini sudah menjadi hobi Litha untuk menyirami tanaman-tanaman kesayangannya di belakang rumahnya. Kebetulan ibunya juga hobi merawat tanaman, terutama bunga Anggrek. Sehingga terkadang Litha pun berkebun berdua bersama ibunya, seperti sore hari ini.
Sambil menyirami pot-pot euphorbia, Litha bercerita tentang kejadian di sekolah hari ini. Mengenai temannya yang diperingatkan untuk membuang sampah malah marah-marah dan membuatnya sedikit ketakutan karena tatapan matanya yang tajam.
"Apa kamu yakin nggak pernah membuat temen kamu itu marah sebelumnya?" tanya Ibu sambil menyemprot air ke koleksi Anggreknya yang digantung-gantung di bawah net khusus green house.
"Duh, Ibu. Aku selalu berusaha menghindari konflik dari dia. Dia itu terkenal bad boy di sekolah, Ibu kan tahu aku paling benci bikin masalah. Sebisa mungkin aku menghidari masalah," terang Litha.
"Iya, Ibu ngerti. Tapi usul kamu tentang program go green itu, apa semua setuju? Kamu yakin tidak ada yang merasa kontra dengan usul kamu itu, Lit? Biasanya, setelah sebuah pendapat muncul, pro dan kontra pasti akan mengikuti berikutnya."
Litha pun seperti tersadarkan, selama ini ia mengira usulnya untuk mencanangkan program go green di sekolah bakal mulus-mulus saja. Apalagi ia mendapat persetujuan langsung dari Kepala Sekolah, tanpa mengajukan proposal lewat OSIS terlebih dahulu. Ia menganggap, ini kan program untuk kebaikan, bukan program hura-hura yang cuma menghabiskan duit, pasti banyak yang mendukungnya. Ibu seolah baru saja menunjukkan bahwa beberapa pihak, sekecil apapun jumlahnya, pasti ada yang kontra.
"Tapi... Wira kan paling cuek sama kegiatan sekolah," gumam Litha sambil menerawang.
"Namanya Wira? Cowok ya, Lit?" tanya Ibu dengan raut excited. Litha mengangguk menjawab pertanyaan ibu.
"Mungkin dia naksir kamu, Lit. Cowok kan suka usil kalo lagi naksir cewek," goda Ibu yang langsung membuat pipi Litha bersemu kemerahan.

***

Esoknya di sekolah, Sang Ketua OSIS, Fahri, tengah sibuk menata pot tanaman yang kini menghiasi teras depan ruang OSIS. Litha yang sedang melintas pun tertarik untuk menikmati pemandangan baru di sekolahnya ini.
"Wah, pemandangan di sini jadi segar nih!" ujar Litha sambil membantu memindahkan pot-pot kecil berisi bunga.
"Iya, saya juga meletakkannya hampir di teras semua ruangan. Masih baru sebagian sih, sisanya datang nanti siang. Kamu mau membantu?" Fahri membetulkan letak kacamatanya yang agak melorot usai membungkuk menata pot-pot tadi.
"Ya, tentu saja!" ujar Litha bersemangat. Ini kesempatan bisa memandang sang Ketua OSIS dari dekat, diam-diam dia naksir teman sekelasnya ini.
Wira yang baru saja datang, melintas di depan ruang OSIS, di mana Fahri dan Litha sibuk membawa pot-pot tanaman ke depan ruang guru yang ada di sebelah ruang OSIS.
Tak sengaja lengan Wira menyenggol bahu Litha sampai pot bunga yang ada di tangannya terjatuh dan pecah.
"Oops... sori." Spontan Wira minta maaf.
Begitu mendapati Wira yang berdiri di sebelahnya, raut wajahnya langsung berubah menjadi keras.
"Mau kamu sebenarnya apa sih? Saya tau kamu nggak mendukung aksi go green di sekolah ini, tapi nggak perlu bikin kacau dong!" semprot Litha.
Wira bingung harus menjawab apa, karena ia benar-benar tidak sengaja melakukannya. "Gue nggak sengaja tau! Lo jangan asal tuduh ya!" seru Wira akhirnya dan menghambur pergi meninggalkan Litha yang masih kesal akan perbuatannya barusan.
"Udah ngejatuhin, nggak bantuin pula!" Litha ngomel-ngomel sambil membersihkan pecahan pot.
"Sudah, nggak apa-apa, Litha,." kata Fahri sembari membantu Litha.
"Maaf ya, Fahri," balas Litha dengan nada tidak enak hati.
Fahri tersenyum memaklumi.
"Saya dengar pot-pot ini dananya dari kamu pribadi ya?" tanya Litha ketika pot yang pecah selesai dibersihkan. Fahri agak terkejut mendengar pertanyaan Litha.
"Kamu dengar dari mana, Lit?" tanya Fahri tanpa menatap lawan bicaranya. Ia pura-pura merapikan pot di samping kakinya.
"Ya... dari anak-anak. Tapi emang bener ya?" Litha menatap Fahri intense.
Fahri tidak langsung menjawab, ia memutuskan untuk meletakkan pot terakhirnya dulu. "Cuma sedikit rasa terima kasih kepada bumi kok, Lit. Nggak ada apa-apanya dibandingkan kamu yang udah berani mempelopori aksi go green ini. Kamu hebat banget!"
Pipi Litha bersemu merah dipuji begitu. Dalam hati ia membatin, Fahri nggak cuma cakep, pintar dan populer, ia juga berhati emas. Kalo dibandingin sama Wira sih, bagaikan bumi dan langit. Yah meskipun sama-sama cakep dan populer, tapi Fahri jelas punya nilai plus.

***

Hari ini akan diadakan Green Day, dimana semua warga sekolah diwajibkan untuk ikut kerja bakti membersihkan sekolah dan menanam beberapa pohon di halaman sekolah yang sebelumnya gersang.
Litha tampak lebih bersemangat hari ini, mata bulatnya berbinar-binar indah, memancarkan kecantikannya. Ia tampak sibuk menanam tanaman hias di pot besar di teras depan kelasnya bersama beberapa teman sekelasnya.
"Litha," tiba-tiba ada yang memanggilnya.
"Ya?" ujar Litha sembari berdiri dari posisi jongkoknya. Ketika melihat sosok yang berdiri di depannya, her face's turning into a frown. Ia mengira yang memanggilnya tadi adalah Fahri. Namun nyatanya yang ada di hadapannya saat ini adalah orang yang paling tidak ingin ia temui saat ini.
"Gue emang nggak bisa beli pot-pot tanaman buat menghias sekolah kayak Fahri," ujar Wira dengan raut serius.
Litha yang tadinya pengen langsung nyemprot, berpikir dua kali untuk benar-benar melakukannya.
"Tapi gue punya ini buat elo, Lit. Maafin gue ya?" Wira menyodorkan sebuah pot bunga kepada Litha. "Ini sebagai ganti pot yang udah gue pecahin kemarin."
Litha menerima pot bunga itu ragu, ia masih tidak percaya Wira berubah 180 derajat begini.
"Well, thanks." kata Litha sambil tersenyum, menimbulkan gejolak aneh di perut lawan bicaranya.
"Tapi ini bukan buat saya, ini buat bumi. Kamu cinta bumi kan?" tanya Litha di luar dugaan. Wira sempat nggak ngeh dengan maksud perkataan Litha, namun kemudian ia tersenyum penuh arti.
"Iya, gue cinta bumi," kata Wira akhirnya, di mana ada elo di dalamnya.
Tiba-tiba Litha menarik tangan Wira untuk mengikutinya mengambil pot-pot berukuran agak besar di suatu sudut di depan kelasnya. Ia minta Wira membantunya mengangkat pot-pot itu bersamanya, karena ia tak kuat mengangkatnya sendirian. Wira pun menyanggupi permintaan Litha.
Somehow Wira merasa inilah saatnya membuka kembali impiannya yang sudah ia pendam rapat-rapat itu.
I think I found her, batin Wira. ©

sumber : http://www.cafenovel.com/antologicerpen_saranindya_002.php?page=002