Senin, 29 November 2010

Perkembangan Kognitif anak Pada Usia Prasekolah

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masa keemasan (golden age) merupakan perkembangan anak yang terjadi pada usia prasekolah dimana 80% perkembangan kognitif telah dicapai pada masa ini. Perkembangan kognitif anak harus mendapat stimulasi agar dapat berkembang optimal. Pendidikan anak usia dini yang efektif sangat bermanfaat untuk membangun struktur perkembangan kognitif anak.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat disusun suatu permasalahan bagaimana Pendidikan anak usia dini yang efektif diterapkan pada anak usia prasekolah mempengaruhi perkembangan kognitif anak di masa mendatang.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui hubungan Pendidikan Anak Usia Dini dengan perkembangan kognitif anak usia prasekolah.

BAB II
PEMBAHASAN
Apakah Pengembangan Kognitif?
Mengelola perkembangan kognitif berkaitan dengan belajar anak berpikir dan kemampuan penalaran. Banyak program-program prasekolah tidak secara teratur mengamati perkembangan kognitif kecuali seorang anak sedang dievaluasi untuk menunda belajar. Melihat anak-anak pada tanda-tanda perkembangan kognitif mereka adalah penting. Perlu adanya pengamatan tentang belajar mereka dan kemampuan penalaran juga. Perlu diketahui bahwa informasi berikut harus digunakan sebagai panduan untuk perkembangan kognitif prasekolah. Semua anak-anak mengembangkan pada tingkat mereka sendiri, dan keprihatinan apapun tentang perkembangan kognitif anak harus didiskusikan dengan keluarga.

Mengamati Pengembangan kognitif
Mengamati keterampilan kognitif tertentu di dalam kelas prasekolah mungkin memerlukan sedikit perencanaan. Meskipun mudah untuk mengamati bahasa anak dan perkembangan motorik selama bermain normal sehari-hari, anak-anak tidak sering memilih untuk berpartisipasi dalam tugas-tugas kognitif sendiri. Menyiapkan permainan kelompok kecil di mana anak-anak harus menghitung sejumlah benda tertentu dapat membantu para guru mengamati keterampilan kognitif awal. Sebagai contoh, menggunakan dadu dan manik-manik. Roll hanya satu mati di atas meja. Membantu anak-anak menghitung jumlah titik-titik yang muncul. Mintalah masing-masing tangan anak jumlah manik-manik yang sesuai dengan jumlah titik pada mati. Kegiatan ini dua kali lipat: ia akan menampilkan jika anak mampu menghitung jumlah titik pada mati serta memilih sejumlah objek keluar dari kelompok besar. Pastikan untuk mengambil waktu beberapa saat bermain game ini dengan anak-anak untuk menulis pengamatan para guru pada setiap anak. Jangan mengandalkan memori guru, menuliskan sebuah catatan rinci beberapa pilihan ketika guru terlibat dengan permainan. Untuk yang lain mengambil kegiatan ini, warna digunakan. Membuat buatan sendiri yang mati dengan warna yang berbeda di setiap sisi. Roll warna dan melihat apakah anak-anak dapat memilih bahwa manik warna. Untuk tantangan yang sedikit lebih sulit, gunakan nomor berwarna. Setelah rolling mati, memanggil jumlah dan warna. Dapatkah anak-anak cocok baik warna dan angka?

Setelah mengamati anak-anak untuk pengembangan keterampilan kognitif, maka akan perlu untuk grafik semua temuan-temuan. Ada beberapa sumber daya yang tersedia untuk membantu menciptakan perkembangan checklist untuk setiap anak di kelas. Ketika membuat daftar tonggak sendiri, pastikan untuk menyertakan tanggal saat mengamati perilaku, usia di bulan anak ketika perilaku yang dapat diamati terjadi, serta memiliki catatan anekdotal yang mendukung penilaian. Meskipun bukan daftar lengkap, memberikan awal yang baik untuk menciptakan perkembangan kognitif checklist prasekolah. Untuk pemahaman dasar dari semua bidang pembangunan yang harus dimasukkan dalam penilaian perkembangan anak prasekolah.
Bisa membaca di usia dini memang bukanlah segalanya, namun membuat anak-anak senang dengan buku dan kegiatan membaca sedari kecil bukanlah langkah yang sia-sia. Jika kebiasaan membaca sudah terbentuk, tak jarang, keinginan untuk belajar membaca pun muncul dari diri mereka sendiri.

Kontroversi tentang belajar membaca untuk anak usia dini memang tetap ada. Beberapa pihak bahkan melarang orang tua atau guru untuk mengajarkan keterampilan membaca pada usia dini, dengan alasan takut anak-anak jadi terbebani, sehingga mereka menjadi benci dengan kata “belajar”.
Namun selama prinsip belajar bersifat ‘fun’ yang dikembangkan, materi apapun yang diajarkan kepada anak usia dini selalu direspon dengan baik dan anak-anak suka untuk belajar. Mengajak anak-anak untuk belajar membaca menurut saya jauh lebih baik daripada membiarkan mereka menonton TV seharian. Tanpa kita sadari sesungguhnya anak-anak juga belajar sesuatu lewat TV, yang sayangnya lebih banyak berupa hal-hal negatif daripada hal-hal yang positif.

Seputar metode belajar
Metode mengajar balita membaca sangatlah beragam. Karena begitu beragamnya, lagi-lagi kita akan menemukan perbedaan dasar pemikiran dari metode-metode tersebut. Meskipun kadang-kadang sering mencuat pertentangan yang tajam antar berbagai metode, kita tak perlu bingung. Kenali saja semuanya lalu sesuaikan dengan gaya belajar anak-anak kita. Sejauh ini di dunia belajar ini dikenal 2 metode besar, yaitu metode terstruktur dan metode tidak terstruktur (acak). Keduanya tidak lebih baik atau lebih jelek dari yang lainnya. Metode terstruktur dan tidak terstruktur (acak) bisa saling melengkapi sesuai karakter dua belahan sisi otak kita yang kini populer dengan istilah otak kiri dan otak kanan.
Otak kiri memiliki karakteristik yang teratur, runut (sistematis), analitis, logis, dan karakter-karakter terstruktur lainnya. Kita membutuhkan kerja otak kiri ini untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan data, angka, urutan, dan logika.
Adapun karakteristik otak kanan berhubungan dengan rima, irama, musik, gambar, dan imajinasi. Aktivitas kreatif muncul atas hasil kerja otak kanan. Melalui deskripsi tentang karakteristik dua belahan otak tersebut, kita tentu bisa melihat bahwa keduanya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita, dan anak-anak bisa disentuh dengan metode yang mengaktifkan keduanya.
Selain metode belajar, karakteristik anak-anak juga perlu kita kenali dan pahami agar kita bisa membangkitkan minat belajar mereka dengan cara yang sesuai.
Beberapa karakteristik anak secara umum adalah sebagai berikut:
1. Konsentrasi lebih pendek (relatif)
2. Tidak suka diatur/dipaksa
3. Tidak suka dites
Ketiga ciri tersebut jelas menunjukkan kepada kita bahwa menstimulasi ataupun mengajar balita membaca tak bisa dilakukan dengan cara-cara orang dewasa. Kita membutuhkan cara yang lebih bervariasi dan adaptif terhadap kecenderungan anak-anak. Dan hanya satu kegiatan yang bisa memfasilitasi 3 karakteristik di atas yaitu BERMAIN.
Mengapa harus bermain? Karena dalam bermain anak-anak tidak menemukan tes, paksaan, dan batas waktu. Ketika bermainlah anak-anak menemukan kebebasan dirinya untuk berekspresi. Ketika bermain pula mereka menemukan kesenangan mereka, dan pada saat seperti itulah kegiatan belajar justru menjadi sangat efektif.
Pasal 1 ayat 14 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (Supriadi, 2004). Penelitian Clarke – Stewart dan Fein (sitat dalam Santrock, 1995 dalam Heru Astikasari, 2004) menunjukkan bahwa anak-anak yang sejak usia dini telah mengikuti program pendidikan (playgroup maupun taman kanak-kanak), mereka lebih mandiri, berkompeten dan dewasa secara sosial, dalam arti mereka lebih percaya diri, dapat mengekspresikan diri secara verbal, mengetahui dunia sosial, bisa menyesuaikan diri dengan keadaan sosial yang menyenangkan serta keadaan yang tidak menyenangkan. Seperti apa seharusnya program pendidikan untuk anak usia pra sekolah? Seharusnya huruf mulai diperkenalkan ketika anak-anak sudah mampu memahami bahasa verbal dan tulis (lewat suatu cerita yang dibacakan oleh orang tua atau guru). Membaca dan menulis seharusnya bukan sebagai tujuan utama melainkan sebagai suatu sarana, agar anak menjadi tertarik terhadap deretan huruf-huruf dari suatu tulisan. Nawawi (dalam Ihsan, 2003) menyatakan bahwa pendidikan regular adalah usaha pendidikan yang diselenggarakan secara sengaja, berencana, terarah dan sistematis melalui suatu lembaga pendidikan yang disebut sekolah. Kurikulum pendidikan reguler merupakan kurikulum yang ditetapkan oleh Depdiknas dan mempunyai waktu belajar yang relatif singkat (reguler) dibandingkan dengan jenis pendidikan terpadu yang sekarang ini sedang berkembang. Pendidikan terpadu ini biasanya menggunakan jenis pendidikan full days school yang merupakan konsep belajar sehari penuh dimana anak didik berada di lingkungan sekolah dari pagi hingga sore hari. Jenis pendidikan ini berusaha mengoptimalkan kurikulum yang telah disusun oleh Depdiknas dengan pendidikan modern, baik dilihat dari sarana dan prasarananya maupun dilihat dari bentuk pendidikan yang diberikan. Full days school menawarkan keuntungan bagi anak didiknya. Yaitu anak mendapat metode pembelajaran yang bervariasi daripada regular. Adanya full activity, membuat waktu tidak terbatas bagi anak didik. Artinya ada aktivitas lain di luar kelas yang merupakan sisi kehidupan anak sehari-hari untuk berinteraksi dengan teman sebaya, misalnya makan bersama, sholat berjamaah, bermain bersama, belajar kelompok ataupun menghafal surat-surat pendek dalam al quran. Sejak dini anak sudah terlatih berdisiplin waktu dalam belajar dan bermain. Waktu efektif hanya 3 jam, selebihnya aktivitas dominan setelah siang hari bukan lagi belajar formal tetapi aktivitas yang diminati anak. Orang tua tidak akan merasa khawatir karena anak berada seharian di sekolah. Orang tua bekerja lebih memilih sekolah full days bagi putra putrinya agar mereka dapat bekerja dengan tenang. Sebagian besar waktunya untuk belajar dalam mengembangkan kreativitas dan keilmuan anak didik seperti ilmu agama, ilmu eksakta, ilmu sosial, moral dan etika sehingga kesempatan untuk berkomunikasi dengan guru lebih terbuka Full days school juga memiliki kerugian, diantaranya stimulasi pendidikan sekolah yang beragam akan mendominasi waktu mereka. Anak kehilangan waktu bermain sehingga hal tersebut menjemukan bagi anak. Mereka tidak dapat berinteraksi dengan teman sebaya di rumah. Selain itu anak juga kehilangan waktu dirumah dan belajar tentang hidup bersama keluarga Sore hari ketika anak pulang sekolah mereka dalam keadaan lelah dan mungkin tidak berminat lagi untuk bercengkerama bersama keluarga. Berbeda dengan sekolah reguler. Sekolah reguler menawarkan beberapa\ keuntungan yaitu dengan tidak adanya metode pembelajaran yang beragam membuat anak merasa ringan dalam memperoleh pelajaran sehingga mereka tidak merasa bosan ataupun capek ketika pulang sekolah dan dapat membagi waktu untuk bermain dirumah maupun berkumpul bersama keluarga Namun sekolah reguler sendiri juga memiliki kerugian yaitu dengan menggunakan waktu efektif selama 3 jam, maka tidak ada aktivitas lain diluar jam belajar dan bermain tersebut. Jadi tidak terdapatnya pengembangan kreativitas, keilmuan maupun keagamaan. Hal tersebut menyebabkan kurangnya interaksi dengan teman sebaya maupun tidak terjalinnya komunikasi yang terbuka dengan guru. Padahal pengaruh teman sebaya sangat penting dalam perkembangan anak. Hal tersebut diatas didukung oleh hasil penelitian Dewi Nurhidayati (2006) bahwa siswa reguler memiliki ketrampilan sosial yang lebih baik daripada siswa full day school. Dijelaskan bahwa, siswa full days kurang mengenal lingkungan sekitar dan terbiasa dengan figure tertentu (guru).Selain tersebut diatas, hasil penelitian Jauhariatun Marfu’ah (2007) menunjukkan bahwa hasil kreativitas yang dimiliki siswa Sekolah Dasar (SD) lebih tinggi daripada kreativitas Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) dan tidak ada perbedaan kreativitas pada siswa yang memiliki intelegensi tinggi dan rendah. Pada dasarnya, dalam memilih sekolah yang terbaik, sekolah tersebut harus dapat menerapkan waktu untuk belajar dan bermain agar tidak ada hambatan dalam proses sosialisasinya. Selama anak menikmati berarti mereka merasa nyaman dalam sekolah tersebut. Misalnya ketika pulang sekolah tidak ada indikasi capek, loyo, lesu, ataupun raut muka sedih pada diri anak. Jangan sampai anak merasa tertekan di tempat sekolah. Hal ini akan membuat anak depresi dan kehilangan pengalaman selama perkembangan masa kanak-kanak awal Pemilihan jenis pendidikan yang akan diterapkan kepada anak usia prasekolah mempengaruhi kemampuan bersosialisasinya. Pemilihan jenis pendidikan yang kurang sesuai akan menyebabkan rendahnya kemampuan bersosialisasi pada anak usia prasekolah. Ada tiga alasan mengapa penelitian ini penting untuk dilakukan. Alasan pertama, dalam pendidikan prasekolah, anak diharapkan mampu menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang berlaku didalam lingkungan/masyarakat dimana anak berada. Alasan kedua, sosialisasi merupakan basic/dasar dalam hubungan sosial. Karena sosialisasi dimulai dari keluarga, modal pertamanya dalam identifikasi tokoh. Sedangkan di playgroup atau taman kanak-kanaklah ia menghadapi dunia yang lebih luas. Playgroup atau taman kanak-kanak memberikan stimulasi intelektual maupun sosial. Di samping banyak kegiatanataupun aktivitas bermain yang berbeda-beda juga banyak anak-anak sebaya untuk bekerjasama. Alasan ketiga, stimulasi intelektual tersebut ditawarkan dalam bentuk pendidikan formal dan pendidikan terpadu. Pendidikan formal disebut juga sekolah reguler dan pendidikan terpadu disebut juga sekolah full days. Berdasarkan uraian tersebut diatas peneliti merumuskan masalah “Apakah ada perbedaan kemampuan bersosialisasi bagi anak yang menjalani sekolah reguler dan sekolah full days ?”.

.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dunia belajar ini dikenal 2 metode besar, yaitu metode terstruktur dan metode tidak terstruktur (acak). Keduanya tidak lebih baik atau lebih jelek dari yang lainnya. Metode terstruktur dan tidak terstruktur (acak) bisa saling melengkapi sesuai karakter dua belahan sisi otak kita yang kini populer dengan istilah otak kiri dan otak kanan. Otak kiri memiliki karakteristik yang teratur, runut (sistematis), analitis, logis, dan karakter-karakter terstruktur lainnya. Kita membutuhkan kerja otak kiri ini untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan data, angka, urutan, dan logika. Adapun karakteristik otak kanan berhubungan dengan rima, irama, musik, gambar, dan imajinasi. Aktivitas kreatif muncul atas hasil kerja otak kanan.
Melalui deskripsi tentang karakteristik dua belahan otak tersebut, kita tentu bisa melihat bahwa keduanya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita, dan anak-anak bisa disentuh dengan metode yang mengaktifkan keduanya.

B. Saran
Sebaiknya memberikan pendidikan pada anak usia dini perlu adanya kesabaran dan pengertian dari para orangtua dan guru. Hal itu merupakan hal yang sangat penting memberikan pendidikan pada usia dini anak. Hal ini disebabkan karena pada waktu orang tua atau guru mengajarkan berbagai hal anak belum mengerti dan memahami secara utuh. Untuk itu mereka harus memperhatikan tingkat perkembangan anak. Menggunakan pendekatan yang positif akan menciptakan atmosfir yang positif dan akan menghasilkan suatu pembelajaran yang positif juga.

DAFTAR PUSTAKA
(http://www.kabarindonesia.com oleh Ike Herdiana, 28 Maret 2007).
(http://www.kabarindonesia.com oleh Ike Herdiana, 28 Maret 2007). 28 Maret 2007).
(http://www.kabarindonesia.com oleh Ike Herdiana,
(http://www.antara.co.id oleh Arc, 18 Juni 2008).
(http://www.wrm-indonesia.org oleh We R Mommies, Rabu 18 Oktober 2006).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar